Cari Blog Ini

Selasa, 19 Januari 2010

HOMAGE : G. Sidharta Soegijo dalam Seni Rupa Indonesia

“There realy is no such thing as Art. There are only artists”

― E.H Gombrich



“I don't believe in art. I believe in artists”

― Marcel Duchamp

Tahun 1997, saya punya kesempatan menyiapkan sebuah pameran dalam rangka melepas dan mengantar Gregorius Sidharta Soegijo kembali ke Yogjakarta. Sejak tahun 1965 G. Sidharta menetap di Bandung, meninggalkan Yogjakarta, beberapa tahun berselang sejak ia pulang dari Belanda. Pameran yang menunjukkan kumpulan perjalanan karya-karya itu diberi judul “Persembahan 1997” oleh G. Sidharta sendiri seakan kian mendekatkan saya pada perjalanan panjang prestasi G Sidharta dalam peta perkembangan seni rupa Indonesia. G Sidharta tak hanya mengerjakan karya-karya patung monolith, sebagaimana dedikasinya mengajar di seni rupa ITB, tetapi juga karya-karya: lukisan, gambar, karya cetak seni (printmaking), serta karya-karya patung publik. Di tahun 1970’an, G Sidharta menjadi sosok yang populer di kalangan para mahasiswanya karena sikap keterbukaanya. Sikap tersebut sesungguhnya juga mencerminkan paradigma estetik yang dipercayainya. Sepanjang karir artistiknya G Sidharta seakan tak pernah berhenti berubah dan memperbaharui diri, ia terus mencari kemungkinan berkarya dan menjelajahi berbagai kemungkinan teknik serta bahan. Sekembalinya ia ke Yogjakarta, G Sidharta aktif kembali mengerjakan karya-karya patung bahkan menjadi salah seorang inisiator penting berdirinya lembaga profesi para pematung di Indonesia, yang disebut Asosiasi Pematung Indonesia (API).
G Sidharta memang figur yang tidak biasa dan sosok yang menonjol serta dihormati sebagai seorang seniman, guru, dan pemimpin. Ia bahkan jadi contoh dan idola bagi banyak seniman setelahnya. Pameran ini adalah salah satu cara untuk mengenang nilai kepeloporan dan pencapaian artistik G. Sidharta. Mengenang ihwal sosok seoran seniman, saya terkenang apa yang pernah diucapkan salah seorang perintis gerakan Avant-garde seni, Marcel Duchamp. “Saya tak percaya pada seni. Saya percaya pada para seniman”, ungkapnya. Duchamp membuktikan sikapnya itu dengan gerakan Dadaism yang dipeloporinya. Blantika seni rupa pun gunjang, karya-karya Dadaisme kemudian jadi catatan sejarah penting hingga saat kini. Tak hanya sikap seorang seniman yang percaya pada pentingnya peran sosok seniman lainnya, pun seorang teoritisi seni yang dihormati juga punya pandangan yang serupa. E.H Gombrich misalnya pernah mengatakan hal ini suatu hari : “Tak ada sesuatu yang sebenar-benarnya bisa kita temui sebagai Seni. Yang ada hanyalah para seniman”. Saya anggap, kedua pandangan itu tak bermaksud menyanjung para seniman selain justru menunjukan peran penting seorang seniman. Situasi dan cara pemahaman seni memang berubah hingga saat kini, tak lagi persis seperti di era Duchamp atau Gombrich hidup. Pun Duchamp, saya rasa, tak pernah membayangkan jika suatu saat posisi penting seorang seniman secara teoritis mesti dikesampingkan. ‘Matinya sang seniman’ (the death of the author), sebagaiman ditemukan dan diungkit-ungkit para komentator karya seni, sepertinya juga tak terbayangkan oleh Gombrich pada masanya. Toh mengenang lagi dua pendapat pesohor seni itu kini, justru menjadikan kita sadar (kembali) bahwa, apa yang dibayangkan Roland Barthes sebagai ‘kematian sang seniman’ justru adalah soal ‘pemaknaan’ (signification) karya seni yang kini tak lagi bisa dimonopoli oleh seorang seniman. Sedangkan pandangan kedua pesohor seni itu justru tengah memuji soal ‘perintisan’ serta ‘inisiatif’ yang dilakukan seorang seniman. Kita pun lalu tak pantas untuk memperkarakan mana yang lebih penting diantara kedua persoalan itu. Prestasi yang capai G Sidharta Soegijo adalah kenangan nilai yang tak mungkin terhapus, sedangkan pembacaan soal makna mengenai karya-karyanya akan terus hidup dan mengisi tiap-tiap cara pandangan zaman yang mungkin akan terus berubah.
G Sidharta memiliki banyak pandangan dan sikap seni yang bisa dinilai ‘orijinal’, dan kontroversial, pada masanya. Salah satunya yang penting ketika ia mengatakan:
“Saya ingin mengaitkan kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini. Dalam hal ini say amemilih cara pendekatan melalui pergaulan yang terus menerus, yang dekat dan akrab, dengan benda-benda, bentuk-bentuk, cerita, jalan pikiran dan segalanya yang merupakan hasil dan pengungkapan cita-cita dari kehidupan dan pergaulan tradisional”(1.
Ketika ia meninggalkan Yogjakarta, awal tahun 1965, persoalan yang ada di benaknya bukan soal tradisi yang ingin dijadikan pokok gagasan bagi karya-karyanya. Saat itu, ia justru tengah jengah dengan lingkungan kerja kreatif di Yogjakarta yang dianggapnya kurang cocok lagi bagi dirinya. Maka ketika ada tawaran untuk membuka dan mengajar di studio patung di Bandung (seni rupa ITB) ia pun menerimanya. Pandangan Sidharta di atas itu justru muncul di akhir tahun 1970’an, di Bandung, di tengah gemuruh prinsip universalisme seni dan kecenderungan Modernisme yang sedang dominan. Bagi kecenderungan Modernisme, sebagaimana juga dibayangkan oleh Marcel Duchamp pada awalnya, tradisi adalah pengertian yang tak lagi aci bagi prinsip kebebasan dan penciptaan seni. Praktek estetika Formalisme sama sekali tak mengizinkan hadirnya segala jenis bentuk di luar bentuk karena analisa formal ―apalagi bentuk yang ditujukan untuk menyatakan semacam cerita tertentu. Tak ada patung yang berwarna-warni dengan berbagai ragam bentuk ornamen (sebagaimana yang dikerjakan Sidharta saat itu), selain sejatinya sebuah karya dengan bentuk yang jelas, terukur, dan analitis. Tradisi, bagi prinsip universalisme seni, dianggap ‘hanya’ bisa menyediakan asumsi-asumsi bagi pokok nilai kebenaran yang bersifat lokal dan sektoral (karena sedemikian banyaknya tradisi budaya yang ada di seluruh dunia). Karenanya tradisi dianggap gagal menyiapkan pokok prinsip yang esensial yang dibayangkan mampu dirangkul seluruh proyek penciptaan seni yang bersifat mendunia.
Kritikus dan sejarawan seni, Sanento Yuliman, yang juga jadi teman diskusi sekaligus lawan berdebat Sidharta di Bandung meninggalkan catatan tentang pendirian Sidharta atas nilai tradisi yang sering salah ditafsirkan banyak orang. Katanya: “ Dharta [begitu, Sanento memanggilnya] termasuk seniman yang mencari pilihan lain di anatara pilihan “keuniversalan” yang dominan itu. Tanpa meninggalkan gelanggang ia salah satu seniman yang masih menyimpan semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya”(2.
Saat ini satu dekade sudah kita meninggalkan pengalaman perkembangan seni rupa tahun 1990’an. Tentu kita masih ingat gemuruh arena biennale dan triennale internasional disepanjang dekade 1990’an. Sejak akhir tahun 1980’an, arus utama perkembangan seni rupa dunia [dalam hal ini adalah seni rupa Eropa-Amerika] seolah gemar bertakbir soal pentingnya nilai-nilai ‘perbedaan’ (difference) dan ihwal ‘ekspresi budaya’ (cultural context) dalam proses penciptaan karya seni rupa. Prinsip universalisme seni divonis ‘keliru’ dan kecenderungan Modernisme pun dianggap bangkrut. Tak aneh, ratusan seniman di seluruh penjuru dunia ramai mengamini sikap kembali ke ekspresi budaya dan segala pikiran maupun cerita yang berwatak lokal. Toh kini, kita pun juga tak pantas mengatakan bahwa pihak yang berbeda sikap dan pendirian dengan Sidharta dahulu adalah tak benar, dan ternyata sikap Sidharta lah yang tak salah. Sesungguhnya, ihwal bangkrutnya Modernisme dan bergeloranya segala soal yang disebut ekspresi Post-Modernisme adalah masalah pembacaan mengenai logika perkembangan seni rupa; sedangkan upaya dan pencapaian prestasi seniman seperti Anis Kapoor atau Yoko Ono, misalnya, tetap adalah soal peran para inisiator dan pekerja seni yang gigih bagi perubahan. Jika kita bisa bersikap lebih jernih, maka sesungguhnya tak ada yang lebih ‘benar’ atau lebih ‘salah’ diantara karya-karya yang dikerjakan oleh Henry Moore dan Anis Kapoor, misalnya. Kita tentu tetap bisa melihat dua jenis eskpresi ‘seni’ dari kedua pematung itu, meski memiliki dimensi persoalan yang berbeda.
Bagi saya, ada pokok soal Modernisme yang sering luput diperkarakan para seniman dan pemerhati seni rupa yaitu apa pernah disinggung teoritisi budaya Raymond Williams. Katanya: “Modernism can be clearly identified as a distinctive movement, always more immediately recognized by what they are breaking from than what, in any simple way, they are breaking towards”(3. Sikap ‘anti tradisi’ adalah pandangan yang terlalu menitik-beratkan pada ‘alasan’ (karena tradisi dianggap terlalu memberikan batasan), dibandingkan cara melihat persoalan ‘tujuan’ dari gerakan Modernisme seni. Dalam prinsip Modernisme sebenarnya tak ada yang bisa dipisahkan dari alasan dan tujuan. Sebagian komentator dan teoritisi seni memang mengganggap bahwa alasan dan tujuan Modernisme adalah utopia yang hanya berisi praktek kekuaasaan yang tak berkeadilan dan akhirnya hanya akan menyisakan frustasi dan kemuskilan (nihilisme). Dengan demikian maka gerakan seni Post-Modernisme adalah semacam harapan dan ideologi ‘pembebasan’. Di titik inilah kita temukan nilai penting mengenang sikap dua pesohor seni di atas (Gombrich dan Duchamp), karena dari sikap keduanya itu kita bisa memahami betapa penting dan kritisnya peran inisiatif para seniman. Bagi saya, tanpa ada sikap dan kesungguhan para seniman maka segala soal seni akan ‘melulu’ jadi filasafat dan pemikiran. Bukankah ekspresi seni jadi significant justru karena kita sadar hal itu berbeda dari cara penafsiran a’la filsafat dan pemikiran? Pun kita tak perlu lagi menduga-duga: Apakah ekspresi seni harus mengandung pemikiran atau tidak? Apa yang dipikirkan Duchamp maupun G Sidharta jelas memiliki relevansi dengan nilai ‘ekspresi’ seni yang mereka geluti masing-masing.
Pameran ini menampilkan karya-karya yang dianggap bisa mewakili beberapa tonggak pencapaian artistik G Sidharta, dan tentunya tak semua karya yang pernah dikerjakannya bisa ditampung oleh presentasi pameran kali ini. Pokok penting yang hendak disasar oleh pameran ini adalah juga soal peringatan, ihwal memaknai kenangan kerja keras yang dilakukan seorang seniman. Selebihnya, kita bisa berharap: mudah-mudahan kita juga bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari pergulatan kreatif sosok Gregorius Sidharta Soegijo. Karya-karya yang dipamerkan adalah lukisan, patung, grafis, dan beberapa dokumen visual karya-karya publik yang pernah dikerjakan G Sidharta selama ia bekerja di Bandung, Yogjakarta, Jakarta maupun di luar negeri. Kawan-kawan seniman di Asosiasi Pematung Indonesia bahkan berinisiatif lebih jauh lagi dengan mengumpulkan dan menata barang-barang serta dokumen pribadi (milik keluarga G Sidharta) untuk ditunjukkan kepada publik seni rupa secara luas. Judul pameran: “Homage: G Sidharta Soegijo” jelas adalah ungkapan rasa hormat dan penghargaan dari para seniman yang pernah menjadi sahabat, kawan, ‘lawan’ diskusi, atau murid G Sidharta, dan tentunya sama sekali tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau mengagungkan ihwal sosoknya.
Saya pikir, G Sidharta tentu akan merasa bangga jika sikap kepeloporan dan kerja kerasnya bisa jadi contoh bagi generasi seniman setelahnya. Lebih penting lagi, generasi seniman setelahnya juga bisa menafsirkan secara positif apa yang telah dikerjakannya. Di tahun 1970’an, di Bandung, ketika terjadi ‘wacana perselisihan pendapat’ (discourse of discord) soal ‘patung berwarna’ yang dikerjakan G Sidharta, masing-masing pihak yang pro dan kontra saling menyatakan argumennya dengan sengit. Tak ada satu orang pun yang merasa sakit hati, setelah itu. Kini momen ‘discorse of discord’ semacam itu jadi kenangan manis dan berharga. G Sidharta tentu bukannya tak bisa atau tak paham soal mengerjakan karya patung yang formalistik (pada pameran inipun kita masih bisa menyaksikan contohnya), tapi ia hendak bergerak terus dan menghidupkan, apa ditandai Sanento Yuliman sebagai, ‘semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya’. Tentu era ‘ketegangan kreatif’ yang dialami oleh G Sidharta berbeda pada gejala dan prakteknya saat ini. Namun, tidakkah semangat yang dicontohkannya adalah tauladan yang baik bagi para seniman masa kini? di era ketegangan paradigma pasar seni yang bisa menghidupkan sekaligus juga menjadikan lelah daya kreatif seorang seniman?
Jika soal teladan semangat telah dipancangkan, bagi kita pun ‘diwariskan’ jejak-jejak pergulatan gagasan dan kreativitas G Sidharta dalam berbagai manifestasi karya. Pada konteks persoalan ini, pandangan Roland Barthes soal ‘kematian sang seniman’ bisa kita pahami secara produktif dan positif. Karya-karya G Sidharta tentunya telah menyiapkan kita kemungkinan untuk berdialog dan menyatakan pandangan [yang bisa terpisah dari intensi G Sidharta yang mengerjakannya]. Bagi kepentingan semacam ini pula dibutuhkan kemauan dan ‘keberanian’ kita untuk membayangkan-kembali dan menafsirkan secara produktif makna-makna di balik karya. Lewat lorong penafsiran semacam ini, baik secara literal [dalam bentuk pensikapan pendapat] maupun visual [dalam tanggapan bentuk penciptaan karya], dimensi semangat dan kerja G Sidharta itu akan tiba pada lapangan makna-maknanya yang terus meluas.
Akhirnya, ekspresi seni memang kadang hadir bagai kabut misteri, yang seakan menunggu untuk disiangi. Saya hendak menutup tulisan ini dengan ungkapan Mary Anne Staniszewski, seorang peneliti seni yang rajin menarik kaitan seni dengan nilai budaya. “’Kebenaran’ yang paling kuat dan jelas dalam berbagai kebudayaan”, ungkapnya, “sering adalah segala sesuatu yang tak terkatakan dan tak dikenal secara langsung. Di era modern, hal ini adalah kasus [pemahaman kita] tentang seni. Dengan melihat [karya-karya] seni, kita dapat mulai memahami bagaimana tiap-tiap cara representasi kita [mengenai berbagai hal] membutuhkan makna dan kekuatan”(4. Maka dinamika ekspresi karya-karya G Sidharta, sekali lagi, mengajarkan pada kita ihwal kekuatan dan keteguhan sikap menjadi seorang seniman yang sejatinya [turut] menentukan perubahan.

Bandung, Desember 2009

Rizki A. Zaelani
Kurator



CATATAN:

1. Dikutip Sanento Yuliman dan Jim Supangkat, G. Sidharta di tengah Seni Rupa Indonesia (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1982), hlm.1

2. Sanento Yulimsn, “Tradisi dan Kekinian”, Asikin Hasan, ed. DUA SENI RUPA: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), hlm. 134.

3. Raymond Williams, The Politics of Modernism (London: Verso, 1989), hlm. 43.

4. Mary Anne Staniszewski, BELIEVING IS SEEING: Creating the Culture of Art (New York: Penguin Book, 1995), hlm.1

Comments :

0 komentar to “HOMAGE : G. Sidharta Soegijo dalam Seni Rupa Indonesia”

Posting Komentar

terima kasih atas apresiasi anda kepada kami

 

Copyright © 2009 by Homage G Sidharta Soegijo dalam Seni Rupa Indonesia