Judul tulisan ini membuat orang bertanya: “Apa tidak salah?”. Tidak, karena saya taruh tanda kutip. Maksudnya G. Sidharta Soegijo tak pernah diangkat secara resmi sebagai guru besar namun bagi saya ia adalah profesor. Seharusnya ia sangat pantas untuk diangkat menjadi profesor karena ia jelas tak kalah dalam segala aspek dari mereka yang telah diangkat sebagai guru besar. Pengalamannyapun sangat panjang.
Tahun 1947 ia sudah masuk sanggar Pelukis Rakyat dan belajar melukis dari Hendra Gunawan dan Trubus. Ketika ASRI didirikan tahun 1950 ia termasuk mahasiswa angkatan pertama bersama Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasjah, Edhi Sunarso dll. Kemudian belajar di Jan van Eyck Kunst Academie di Maastricht tahun 1953 dan lulus tahun 1956. Disana ia berkenalan dengan modernism Barat. Waktu kembali ke Jogya ia kurang dapat diterima karena dianggap ke barat-baratan. Seniman dan kritikus seni Jogya pada umumnya masih asing dengan apa yang dibawa pulang G. Sidharta. Bahkan W.S. Rendra melancarkan kritik pedas waktu itu. G. Sidharta telah mendahului jamannya. Jadi sebenarnya G. Sidharta Soegijo adalah pelopor pembaruan di Jogyakarta. Namun karena keadaan di Jogyakarta itu waktu tidak kondusif maka ia terpaksa harus meninggalkan Jogya, kota asalnya yang telah memberikan bekal yang sangat berarti bagi perjalanannya sebagai seniman.
Ia dapat tawaran dari ITB dan pindahlahlah Sidharta ke Bandung tahun 1965. Bersama But Muchtar dan Rita Widagdo ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sampai pensiun G. Sidharta tak diangkat menjadi guru besar padahal beberapa rekan dari generasinya telah menjadi profesor. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena ia bukan alumni ITB namun alumni ASRI Jogya yang merupakan antagonis ITB pada awal sejarah kedua akademi senirupa tersebut? Kita tahu bahwa di awal berdirinya Akademi Gambar di Bandung dan ASRI Jogya ada ketegangan antara kedua institusi tsb. Mereka saling mengritik. Sebab dipandang dari perjalanan akademisnya, keahliannya, karya-karya seninya, jasanya dalam pendidikan ia pasti memenuhi syarat untuk diangkat menjadi guru besar. Walaupun G. Sidharta sendiri tak pernah mempermasalahkan hal ini.
Waktu Museum H. Widayat ingin menganugerahkan H. Widayat Art Award saya diminta duduk dalam panitya seleksi. G. Sidharta Soegiyo dipilih secara sebagai favorit untuk mendapat anugerah tersebut karena perjalanan kesenimannya, kontribusinya terhadap dunia seni-rupa Indonesia, dedikasinya sebagai pendidik dan keberhasilannya sebagai pemimpin. Ia seniman senior yang dihormati oleh semua kelompok dalam dunia seni-rupa. Ia pendiri ASPI (Asosiasi Pematung Indonesia) dan menjabat sebagai ketuanya sampai achir hayatnya.
Saya beberapa kali duduk bersamanya dalam penjurian lomba patung publik. Yang terachir adalah dalam tim seleksi lomba patung yang diadakan P.T. Djarum untuk memilih lima patung yang akan ditempatkan di lima penjuru kota Kudus untuk merepresentasikan Kudus sebagai kota Kretek. G. Sidharta mengetuai tim. Ada kritik dari seniman-seniman yang tak ikut diundang untuk lomba ini terutama seniman lokal dari Kudus dan sekitarnya. Semua dihadapinya dengan rasional dan dijawab dengan argumen yang jitu. Ia membuktikan diri sebagai pemimpin yang berani bertanggung jawab. Ia berpengalaman dalam membuat patung publik maka tahu betul aspek-aspek yang harus diperhatikan. Ia mengikut sertakan ahli bukan pematung seperti arsitek kota karena untuk patung publik perlu adanya keserasian dengan lingkungan dimana patung tersebut ditempatkan..
Keluarga Gregorius Sidharta adalah keluarga Katolik yang baik, maka bila menyangkut patung-patung yang ada kaitan dengan agama katolik seperti penyaliban Kristus, G. Sidharta tak ada tandingannya. Ia sangat menghayati penyaliban Kristus. Sering Sang Penebus tak dihadirkan secara kasat mata namun spiritNya bisa dirasakan. Maka ia sering diminta membuat patung Salib Kristus untuk gereja-gereja Katolik dan patungnya menarik perhatian karena berbeda dengan patung Salib konvensional yang menghiasi gereja pada umumnya. Patung-patung Salib yang bisa dikoleksi oleh kolektorpun mempunyai karakter yang sama dan kualitas yang seimbang dengan patung Salib gereja.
Ia pernah mengeluh ketika pada suatu waktu melihat karyanya akan dilelang oleh sebuah balai lelang nasional dalam jumlah banyak. Ia mengannggap balai lelang tersebut tidak peduli akan senimannya karena dengan demikian harga bisa jatuh, hal mana sangat merugikan sang seniman. Ia mempunyai wawasan, perhatian dan kepedulian yang sangat luas. Ternyata yang dikuatirkannya kemudian benar terjadi.
G. Sidhartalah yang pertama kali menggunakan kata kontemporer dalam pameran pertama Patung Kontemporer Indonesia di TIM Jakarta tahun 1973. Melihat kembali kiprah G. Sidharta, sebenarnya dialah pelopor pembaruan seni-rupa Indonesia. Suatu ironi bahwa Jogya yang sekarang berada di garda depan pembaruan seni-rupa Indonesia, itu waktu belum bisa menerima Sidharta yang membawa pembaharuan dari Barat, sehingga ia harus hijrah ke Bandung, walaupun achirnya ia pulang kandang setelah pensiun.
G. Sidharta tidak berhenti dengan apa yang ia dapat dari Barat, karena ia seorang yang dinamis dan kreatif, tak pernah berhenti mencari hal-hal baru. Ia kemudian jenuh dengan modernisme yang diperoleh dari Barat dan menggali kembali tradasi serta mengadopsinya namun dengan penedekatan dan pengolahan baru. Ia beranggapan bahwa seni rupa modern Indonesia harus menunjukkan ke Indonesiaannya di samping kemodernannya. Karena orang tak pernah bisa mengingkari asal-usulnya. Maka muncullah patung-patungnya dari kayu yang berbalut cat warna-warni yang mengandung elemen tradisi namun modern. Karya grafisnya menunjukkan perubahan yang serupa.
Pada saat ini seniman-seniman muda kita malah banyak yang meniru gaya luar negeri baik Barat maupun Timur terutama Cina dan melupakan tradisinya sendiri. Seniman-seniman kontemporer seperti Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Ivan Sagito, Nasirun, Putu Sutawijaya, Indiguerillas yang masih mempertahankan identitas ke Indonesiaannya tidak banyak. Mayoritas tidak memperlihatkan lagi identitas Indonesia.
Dari 15 Oktober 2009 sampai 10 Januari 2010 di Centraal Museum Utrecht, Belanda, berlangsung pameran besar berjudul “Beyond The Dutch”. Pameran ini menggambarkan perjalanan seni-rupa Indonesia sejak Raden Saleh, “Mooi Indie”, Zaman Revolusi, Setelah Kemerdekaan sampai Hari Ini. Pameran tersebut ingin mengatakan bahwa “Indonesia Hari Ini” sudah melampaui Belanda, tidak ada pengaruh Belanda sama sekali. G. Sidharta yang pernah belajar di Belanda tahun 50an sebenarnya sudah “Beyond The Dutch”.
G. Sidharta Soegijo tidak pernah “pensiun”. Setelah pensiun dan kembali ke Jogya ia malah tambah aktif memajukan dunia patung Indonesia. Ia mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API) dan menjadi ketuanya sampai achir hayatnya. Ia tetap mematung pula dan ketika sudah sakit masih sanggup berpameran tunggal. Saya beruntung diminta G. Sidharta membuka pameran tunggalnya di Hotel Santrian Bali walaupun ia tak dapat hadir karena baru selesai mengalami operasi di Singapura. Ini adalah pameran tunggalnya terachir semasa hidupnya.
Ia meninggalkan warisan yang berharga yaitu API (Asosiasi Pematung Indonesia). Sebagai rasa syukurnya, API memperingati hari wafatnya ke 1000 dengan mengadakan pameran untuk mengenang seniman besar pendiri API ini. Semoga API tidak surut apalagi padam apinya setelah ditinggal bapaknya, namun lebih besar nyalanya sejalan cita-cita alm. “Prof” G. Sidharta Soegijo.
Magelang, 24 Desember 2009,
Oei Hiong Djien
Comments :
0 komentar to “Menilai Kembali “Prof.” G. Sidharta Soegijo”
Posting Komentar
terima kasih atas apresiasi anda kepada kami