Cari Blog Ini

Selasa, 19 Januari 2010

Menilai Kembali “Prof.” G. Sidharta Soegijo

Judul tulisan ini membuat orang bertanya: “Apa tidak salah?”. Tidak, karena saya taruh tanda kutip. Maksudnya G. Sidharta Soegijo tak pernah diangkat secara resmi sebagai guru besar namun bagi saya ia adalah profesor. Seharusnya ia sangat pantas untuk diangkat menjadi profesor karena ia jelas tak kalah dalam segala aspek dari mereka yang telah diangkat sebagai guru besar. Pengalamannyapun sangat panjang.

Tahun 1947 ia sudah masuk sanggar Pelukis Rakyat dan belajar melukis dari Hendra Gunawan dan Trubus. Ketika ASRI didirikan tahun 1950 ia termasuk mahasiswa angkatan pertama bersama Widayat, Fadjar Sidik, Abas Alibasjah, Edhi Sunarso dll. Kemudian belajar di Jan van Eyck Kunst Academie di Maastricht tahun 1953 dan lulus tahun 1956. Disana ia berkenalan dengan modernism Barat. Waktu kembali ke Jogya ia kurang dapat diterima karena dianggap ke barat-baratan. Seniman dan kritikus seni Jogya pada umumnya masih asing dengan apa yang dibawa pulang G. Sidharta. Bahkan W.S. Rendra melancarkan kritik pedas waktu itu. G. Sidharta telah mendahului jamannya. Jadi sebenarnya G. Sidharta Soegijo adalah pelopor pembaruan di Jogyakarta. Namun karena keadaan di Jogyakarta itu waktu tidak kondusif maka ia terpaksa harus meninggalkan Jogya, kota asalnya yang telah memberikan bekal yang sangat berarti bagi perjalanannya sebagai seniman.

Ia dapat tawaran dari ITB dan pindahlahlah Sidharta ke Bandung tahun 1965. Bersama But Muchtar dan Rita Widagdo ia mendirikan jurusan patung di ITB. Sampai pensiun G. Sidharta tak diangkat menjadi guru besar padahal beberapa rekan dari generasinya telah menjadi profesor. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena ia bukan alumni ITB namun alumni ASRI Jogya yang merupakan antagonis ITB pada awal sejarah kedua akademi senirupa tersebut? Kita tahu bahwa di awal berdirinya Akademi Gambar di Bandung dan ASRI Jogya ada ketegangan antara kedua institusi tsb. Mereka saling mengritik. Sebab dipandang dari perjalanan akademisnya, keahliannya, karya-karya seninya, jasanya dalam pendidikan ia pasti memenuhi syarat untuk diangkat menjadi guru besar. Walaupun G. Sidharta sendiri tak pernah mempermasalahkan hal ini.

Waktu Museum H. Widayat ingin menganugerahkan H. Widayat Art Award saya diminta duduk dalam panitya seleksi. G. Sidharta Soegiyo dipilih secara sebagai favorit untuk mendapat anugerah tersebut karena perjalanan kesenimannya, kontribusinya terhadap dunia seni-rupa Indonesia, dedikasinya sebagai pendidik dan keberhasilannya sebagai pemimpin. Ia seniman senior yang dihormati oleh semua kelompok dalam dunia seni-rupa. Ia pendiri ASPI (Asosiasi Pematung Indonesia) dan menjabat sebagai ketuanya sampai achir hayatnya.

Saya beberapa kali duduk bersamanya dalam penjurian lomba patung publik. Yang terachir adalah dalam tim seleksi lomba patung yang diadakan P.T. Djarum untuk memilih lima patung yang akan ditempatkan di lima penjuru kota Kudus untuk merepresentasikan Kudus sebagai kota Kretek. G. Sidharta mengetuai tim. Ada kritik dari seniman-seniman yang tak ikut diundang untuk lomba ini terutama seniman lokal dari Kudus dan sekitarnya. Semua dihadapinya dengan rasional dan dijawab dengan argumen yang jitu. Ia membuktikan diri sebagai pemimpin yang berani bertanggung jawab. Ia berpengalaman dalam membuat patung publik maka tahu betul aspek-aspek yang harus diperhatikan. Ia mengikut sertakan ahli bukan pematung seperti arsitek kota karena untuk patung publik perlu adanya keserasian dengan lingkungan dimana patung tersebut ditempatkan..

Keluarga Gregorius Sidharta adalah keluarga Katolik yang baik, maka bila menyangkut patung-patung yang ada kaitan dengan agama katolik seperti penyaliban Kristus, G. Sidharta tak ada tandingannya. Ia sangat menghayati penyaliban Kristus. Sering Sang Penebus tak dihadirkan secara kasat mata namun spiritNya bisa dirasakan. Maka ia sering diminta membuat patung Salib Kristus untuk gereja-gereja Katolik dan patungnya menarik perhatian karena berbeda dengan patung Salib konvensional yang menghiasi gereja pada umumnya. Patung-patung Salib yang bisa dikoleksi oleh kolektorpun mempunyai karakter yang sama dan kualitas yang seimbang dengan patung Salib gereja.

Ia pernah mengeluh ketika pada suatu waktu melihat karyanya akan dilelang oleh sebuah balai lelang nasional dalam jumlah banyak. Ia mengannggap balai lelang tersebut tidak peduli akan senimannya karena dengan demikian harga bisa jatuh, hal mana sangat merugikan sang seniman. Ia mempunyai wawasan, perhatian dan kepedulian yang sangat luas. Ternyata yang dikuatirkannya kemudian benar terjadi.

G. Sidhartalah yang pertama kali menggunakan kata kontemporer dalam pameran pertama Patung Kontemporer Indonesia di TIM Jakarta tahun 1973. Melihat kembali kiprah G. Sidharta, sebenarnya dialah pelopor pembaruan seni-rupa Indonesia. Suatu ironi bahwa Jogya yang sekarang berada di garda depan pembaruan seni-rupa Indonesia, itu waktu belum bisa menerima Sidharta yang membawa pembaharuan dari Barat, sehingga ia harus hijrah ke Bandung, walaupun achirnya ia pulang kandang setelah pensiun.

G. Sidharta tidak berhenti dengan apa yang ia dapat dari Barat, karena ia seorang yang dinamis dan kreatif, tak pernah berhenti mencari hal-hal baru. Ia kemudian jenuh dengan modernisme yang diperoleh dari Barat dan menggali kembali tradasi serta mengadopsinya namun dengan penedekatan dan pengolahan baru. Ia beranggapan bahwa seni rupa modern Indonesia harus menunjukkan ke Indonesiaannya di samping kemodernannya. Karena orang tak pernah bisa mengingkari asal-usulnya. Maka muncullah patung-patungnya dari kayu yang berbalut cat warna-warni yang mengandung elemen tradisi namun modern. Karya grafisnya menunjukkan perubahan yang serupa.

Pada saat ini seniman-seniman muda kita malah banyak yang meniru gaya luar negeri baik Barat maupun Timur terutama Cina dan melupakan tradisinya sendiri. Seniman-seniman kontemporer seperti Heri Dono, Nindityo Adipurnomo, Ivan Sagito, Nasirun, Putu Sutawijaya, Indiguerillas yang masih mempertahankan identitas ke Indonesiaannya tidak banyak. Mayoritas tidak memperlihatkan lagi identitas Indonesia.

Dari 15 Oktober 2009 sampai 10 Januari 2010 di Centraal Museum Utrecht, Belanda, berlangsung pameran besar berjudul “Beyond The Dutch”. Pameran ini menggambarkan perjalanan seni-rupa Indonesia sejak Raden Saleh, “Mooi Indie”, Zaman Revolusi, Setelah Kemerdekaan sampai Hari Ini. Pameran tersebut ingin mengatakan bahwa “Indonesia Hari Ini” sudah melampaui Belanda, tidak ada pengaruh Belanda sama sekali. G. Sidharta yang pernah belajar di Belanda tahun 50an sebenarnya sudah “Beyond The Dutch”.

G. Sidharta Soegijo tidak pernah “pensiun”. Setelah pensiun dan kembali ke Jogya ia malah tambah aktif memajukan dunia patung Indonesia. Ia mendirikan Asosiasi Pematung Indonesia (API) dan menjadi ketuanya sampai achir hayatnya. Ia tetap mematung pula dan ketika sudah sakit masih sanggup berpameran tunggal. Saya beruntung diminta G. Sidharta membuka pameran tunggalnya di Hotel Santrian Bali walaupun ia tak dapat hadir karena baru selesai mengalami operasi di Singapura. Ini adalah pameran tunggalnya terachir semasa hidupnya.

Ia meninggalkan warisan yang berharga yaitu API (Asosiasi Pematung Indonesia). Sebagai rasa syukurnya, API memperingati hari wafatnya ke 1000 dengan mengadakan pameran untuk mengenang seniman besar pendiri API ini. Semoga API tidak surut apalagi padam apinya setelah ditinggal bapaknya, namun lebih besar nyalanya sejalan cita-cita alm. “Prof” G. Sidharta Soegijo.

Magelang, 24 Desember 2009,

Oei Hiong Djien

HOMAGE : G. Sidharta Soegijo dalam Seni Rupa Indonesia

“There realy is no such thing as Art. There are only artists”

― E.H Gombrich



“I don't believe in art. I believe in artists”

― Marcel Duchamp

Tahun 1997, saya punya kesempatan menyiapkan sebuah pameran dalam rangka melepas dan mengantar Gregorius Sidharta Soegijo kembali ke Yogjakarta. Sejak tahun 1965 G. Sidharta menetap di Bandung, meninggalkan Yogjakarta, beberapa tahun berselang sejak ia pulang dari Belanda. Pameran yang menunjukkan kumpulan perjalanan karya-karya itu diberi judul “Persembahan 1997” oleh G. Sidharta sendiri seakan kian mendekatkan saya pada perjalanan panjang prestasi G Sidharta dalam peta perkembangan seni rupa Indonesia. G Sidharta tak hanya mengerjakan karya-karya patung monolith, sebagaimana dedikasinya mengajar di seni rupa ITB, tetapi juga karya-karya: lukisan, gambar, karya cetak seni (printmaking), serta karya-karya patung publik. Di tahun 1970’an, G Sidharta menjadi sosok yang populer di kalangan para mahasiswanya karena sikap keterbukaanya. Sikap tersebut sesungguhnya juga mencerminkan paradigma estetik yang dipercayainya. Sepanjang karir artistiknya G Sidharta seakan tak pernah berhenti berubah dan memperbaharui diri, ia terus mencari kemungkinan berkarya dan menjelajahi berbagai kemungkinan teknik serta bahan. Sekembalinya ia ke Yogjakarta, G Sidharta aktif kembali mengerjakan karya-karya patung bahkan menjadi salah seorang inisiator penting berdirinya lembaga profesi para pematung di Indonesia, yang disebut Asosiasi Pematung Indonesia (API).
G Sidharta memang figur yang tidak biasa dan sosok yang menonjol serta dihormati sebagai seorang seniman, guru, dan pemimpin. Ia bahkan jadi contoh dan idola bagi banyak seniman setelahnya. Pameran ini adalah salah satu cara untuk mengenang nilai kepeloporan dan pencapaian artistik G. Sidharta. Mengenang ihwal sosok seoran seniman, saya terkenang apa yang pernah diucapkan salah seorang perintis gerakan Avant-garde seni, Marcel Duchamp. “Saya tak percaya pada seni. Saya percaya pada para seniman”, ungkapnya. Duchamp membuktikan sikapnya itu dengan gerakan Dadaism yang dipeloporinya. Blantika seni rupa pun gunjang, karya-karya Dadaisme kemudian jadi catatan sejarah penting hingga saat kini. Tak hanya sikap seorang seniman yang percaya pada pentingnya peran sosok seniman lainnya, pun seorang teoritisi seni yang dihormati juga punya pandangan yang serupa. E.H Gombrich misalnya pernah mengatakan hal ini suatu hari : “Tak ada sesuatu yang sebenar-benarnya bisa kita temui sebagai Seni. Yang ada hanyalah para seniman”. Saya anggap, kedua pandangan itu tak bermaksud menyanjung para seniman selain justru menunjukan peran penting seorang seniman. Situasi dan cara pemahaman seni memang berubah hingga saat kini, tak lagi persis seperti di era Duchamp atau Gombrich hidup. Pun Duchamp, saya rasa, tak pernah membayangkan jika suatu saat posisi penting seorang seniman secara teoritis mesti dikesampingkan. ‘Matinya sang seniman’ (the death of the author), sebagaiman ditemukan dan diungkit-ungkit para komentator karya seni, sepertinya juga tak terbayangkan oleh Gombrich pada masanya. Toh mengenang lagi dua pendapat pesohor seni itu kini, justru menjadikan kita sadar (kembali) bahwa, apa yang dibayangkan Roland Barthes sebagai ‘kematian sang seniman’ justru adalah soal ‘pemaknaan’ (signification) karya seni yang kini tak lagi bisa dimonopoli oleh seorang seniman. Sedangkan pandangan kedua pesohor seni itu justru tengah memuji soal ‘perintisan’ serta ‘inisiatif’ yang dilakukan seorang seniman. Kita pun lalu tak pantas untuk memperkarakan mana yang lebih penting diantara kedua persoalan itu. Prestasi yang capai G Sidharta Soegijo adalah kenangan nilai yang tak mungkin terhapus, sedangkan pembacaan soal makna mengenai karya-karyanya akan terus hidup dan mengisi tiap-tiap cara pandangan zaman yang mungkin akan terus berubah.
G Sidharta memiliki banyak pandangan dan sikap seni yang bisa dinilai ‘orijinal’, dan kontroversial, pada masanya. Salah satunya yang penting ketika ia mengatakan:
“Saya ingin mengaitkan kembali dengan jalur kehidupan tradisi, di samping sekaligus tetap berdiri di alam kehidupan masa kini, yang berarti satu keinginan untuk menghilangkan jarak antara kehidupan tradisional dan masa kini. Dalam hal ini say amemilih cara pendekatan melalui pergaulan yang terus menerus, yang dekat dan akrab, dengan benda-benda, bentuk-bentuk, cerita, jalan pikiran dan segalanya yang merupakan hasil dan pengungkapan cita-cita dari kehidupan dan pergaulan tradisional”(1.
Ketika ia meninggalkan Yogjakarta, awal tahun 1965, persoalan yang ada di benaknya bukan soal tradisi yang ingin dijadikan pokok gagasan bagi karya-karyanya. Saat itu, ia justru tengah jengah dengan lingkungan kerja kreatif di Yogjakarta yang dianggapnya kurang cocok lagi bagi dirinya. Maka ketika ada tawaran untuk membuka dan mengajar di studio patung di Bandung (seni rupa ITB) ia pun menerimanya. Pandangan Sidharta di atas itu justru muncul di akhir tahun 1970’an, di Bandung, di tengah gemuruh prinsip universalisme seni dan kecenderungan Modernisme yang sedang dominan. Bagi kecenderungan Modernisme, sebagaimana juga dibayangkan oleh Marcel Duchamp pada awalnya, tradisi adalah pengertian yang tak lagi aci bagi prinsip kebebasan dan penciptaan seni. Praktek estetika Formalisme sama sekali tak mengizinkan hadirnya segala jenis bentuk di luar bentuk karena analisa formal ―apalagi bentuk yang ditujukan untuk menyatakan semacam cerita tertentu. Tak ada patung yang berwarna-warni dengan berbagai ragam bentuk ornamen (sebagaimana yang dikerjakan Sidharta saat itu), selain sejatinya sebuah karya dengan bentuk yang jelas, terukur, dan analitis. Tradisi, bagi prinsip universalisme seni, dianggap ‘hanya’ bisa menyediakan asumsi-asumsi bagi pokok nilai kebenaran yang bersifat lokal dan sektoral (karena sedemikian banyaknya tradisi budaya yang ada di seluruh dunia). Karenanya tradisi dianggap gagal menyiapkan pokok prinsip yang esensial yang dibayangkan mampu dirangkul seluruh proyek penciptaan seni yang bersifat mendunia.
Kritikus dan sejarawan seni, Sanento Yuliman, yang juga jadi teman diskusi sekaligus lawan berdebat Sidharta di Bandung meninggalkan catatan tentang pendirian Sidharta atas nilai tradisi yang sering salah ditafsirkan banyak orang. Katanya: “ Dharta [begitu, Sanento memanggilnya] termasuk seniman yang mencari pilihan lain di anatara pilihan “keuniversalan” yang dominan itu. Tanpa meninggalkan gelanggang ia salah satu seniman yang masih menyimpan semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya”(2.
Saat ini satu dekade sudah kita meninggalkan pengalaman perkembangan seni rupa tahun 1990’an. Tentu kita masih ingat gemuruh arena biennale dan triennale internasional disepanjang dekade 1990’an. Sejak akhir tahun 1980’an, arus utama perkembangan seni rupa dunia [dalam hal ini adalah seni rupa Eropa-Amerika] seolah gemar bertakbir soal pentingnya nilai-nilai ‘perbedaan’ (difference) dan ihwal ‘ekspresi budaya’ (cultural context) dalam proses penciptaan karya seni rupa. Prinsip universalisme seni divonis ‘keliru’ dan kecenderungan Modernisme pun dianggap bangkrut. Tak aneh, ratusan seniman di seluruh penjuru dunia ramai mengamini sikap kembali ke ekspresi budaya dan segala pikiran maupun cerita yang berwatak lokal. Toh kini, kita pun juga tak pantas mengatakan bahwa pihak yang berbeda sikap dan pendirian dengan Sidharta dahulu adalah tak benar, dan ternyata sikap Sidharta lah yang tak salah. Sesungguhnya, ihwal bangkrutnya Modernisme dan bergeloranya segala soal yang disebut ekspresi Post-Modernisme adalah masalah pembacaan mengenai logika perkembangan seni rupa; sedangkan upaya dan pencapaian prestasi seniman seperti Anis Kapoor atau Yoko Ono, misalnya, tetap adalah soal peran para inisiator dan pekerja seni yang gigih bagi perubahan. Jika kita bisa bersikap lebih jernih, maka sesungguhnya tak ada yang lebih ‘benar’ atau lebih ‘salah’ diantara karya-karya yang dikerjakan oleh Henry Moore dan Anis Kapoor, misalnya. Kita tentu tetap bisa melihat dua jenis eskpresi ‘seni’ dari kedua pematung itu, meski memiliki dimensi persoalan yang berbeda.
Bagi saya, ada pokok soal Modernisme yang sering luput diperkarakan para seniman dan pemerhati seni rupa yaitu apa pernah disinggung teoritisi budaya Raymond Williams. Katanya: “Modernism can be clearly identified as a distinctive movement, always more immediately recognized by what they are breaking from than what, in any simple way, they are breaking towards”(3. Sikap ‘anti tradisi’ adalah pandangan yang terlalu menitik-beratkan pada ‘alasan’ (karena tradisi dianggap terlalu memberikan batasan), dibandingkan cara melihat persoalan ‘tujuan’ dari gerakan Modernisme seni. Dalam prinsip Modernisme sebenarnya tak ada yang bisa dipisahkan dari alasan dan tujuan. Sebagian komentator dan teoritisi seni memang mengganggap bahwa alasan dan tujuan Modernisme adalah utopia yang hanya berisi praktek kekuaasaan yang tak berkeadilan dan akhirnya hanya akan menyisakan frustasi dan kemuskilan (nihilisme). Dengan demikian maka gerakan seni Post-Modernisme adalah semacam harapan dan ideologi ‘pembebasan’. Di titik inilah kita temukan nilai penting mengenang sikap dua pesohor seni di atas (Gombrich dan Duchamp), karena dari sikap keduanya itu kita bisa memahami betapa penting dan kritisnya peran inisiatif para seniman. Bagi saya, tanpa ada sikap dan kesungguhan para seniman maka segala soal seni akan ‘melulu’ jadi filasafat dan pemikiran. Bukankah ekspresi seni jadi significant justru karena kita sadar hal itu berbeda dari cara penafsiran a’la filsafat dan pemikiran? Pun kita tak perlu lagi menduga-duga: Apakah ekspresi seni harus mengandung pemikiran atau tidak? Apa yang dipikirkan Duchamp maupun G Sidharta jelas memiliki relevansi dengan nilai ‘ekspresi’ seni yang mereka geluti masing-masing.
Pameran ini menampilkan karya-karya yang dianggap bisa mewakili beberapa tonggak pencapaian artistik G Sidharta, dan tentunya tak semua karya yang pernah dikerjakannya bisa ditampung oleh presentasi pameran kali ini. Pokok penting yang hendak disasar oleh pameran ini adalah juga soal peringatan, ihwal memaknai kenangan kerja keras yang dilakukan seorang seniman. Selebihnya, kita bisa berharap: mudah-mudahan kita juga bisa mengambil pelajaran dan manfaat dari pergulatan kreatif sosok Gregorius Sidharta Soegijo. Karya-karya yang dipamerkan adalah lukisan, patung, grafis, dan beberapa dokumen visual karya-karya publik yang pernah dikerjakan G Sidharta selama ia bekerja di Bandung, Yogjakarta, Jakarta maupun di luar negeri. Kawan-kawan seniman di Asosiasi Pematung Indonesia bahkan berinisiatif lebih jauh lagi dengan mengumpulkan dan menata barang-barang serta dokumen pribadi (milik keluarga G Sidharta) untuk ditunjukkan kepada publik seni rupa secara luas. Judul pameran: “Homage: G Sidharta Soegijo” jelas adalah ungkapan rasa hormat dan penghargaan dari para seniman yang pernah menjadi sahabat, kawan, ‘lawan’ diskusi, atau murid G Sidharta, dan tentunya sama sekali tidak bermaksud untuk mengkultuskan atau mengagungkan ihwal sosoknya.
Saya pikir, G Sidharta tentu akan merasa bangga jika sikap kepeloporan dan kerja kerasnya bisa jadi contoh bagi generasi seniman setelahnya. Lebih penting lagi, generasi seniman setelahnya juga bisa menafsirkan secara positif apa yang telah dikerjakannya. Di tahun 1970’an, di Bandung, ketika terjadi ‘wacana perselisihan pendapat’ (discourse of discord) soal ‘patung berwarna’ yang dikerjakan G Sidharta, masing-masing pihak yang pro dan kontra saling menyatakan argumennya dengan sengit. Tak ada satu orang pun yang merasa sakit hati, setelah itu. Kini momen ‘discorse of discord’ semacam itu jadi kenangan manis dan berharga. G Sidharta tentu bukannya tak bisa atau tak paham soal mengerjakan karya patung yang formalistik (pada pameran inipun kita masih bisa menyaksikan contohnya), tapi ia hendak bergerak terus dan menghidupkan, apa ditandai Sanento Yuliman sebagai, ‘semangat merdeka dan terus berusaha mencari rumusan lain bagi persepsi kebudayaan dan sikapnya dalam berkarya’. Tentu era ‘ketegangan kreatif’ yang dialami oleh G Sidharta berbeda pada gejala dan prakteknya saat ini. Namun, tidakkah semangat yang dicontohkannya adalah tauladan yang baik bagi para seniman masa kini? di era ketegangan paradigma pasar seni yang bisa menghidupkan sekaligus juga menjadikan lelah daya kreatif seorang seniman?
Jika soal teladan semangat telah dipancangkan, bagi kita pun ‘diwariskan’ jejak-jejak pergulatan gagasan dan kreativitas G Sidharta dalam berbagai manifestasi karya. Pada konteks persoalan ini, pandangan Roland Barthes soal ‘kematian sang seniman’ bisa kita pahami secara produktif dan positif. Karya-karya G Sidharta tentunya telah menyiapkan kita kemungkinan untuk berdialog dan menyatakan pandangan [yang bisa terpisah dari intensi G Sidharta yang mengerjakannya]. Bagi kepentingan semacam ini pula dibutuhkan kemauan dan ‘keberanian’ kita untuk membayangkan-kembali dan menafsirkan secara produktif makna-makna di balik karya. Lewat lorong penafsiran semacam ini, baik secara literal [dalam bentuk pensikapan pendapat] maupun visual [dalam tanggapan bentuk penciptaan karya], dimensi semangat dan kerja G Sidharta itu akan tiba pada lapangan makna-maknanya yang terus meluas.
Akhirnya, ekspresi seni memang kadang hadir bagai kabut misteri, yang seakan menunggu untuk disiangi. Saya hendak menutup tulisan ini dengan ungkapan Mary Anne Staniszewski, seorang peneliti seni yang rajin menarik kaitan seni dengan nilai budaya. “’Kebenaran’ yang paling kuat dan jelas dalam berbagai kebudayaan”, ungkapnya, “sering adalah segala sesuatu yang tak terkatakan dan tak dikenal secara langsung. Di era modern, hal ini adalah kasus [pemahaman kita] tentang seni. Dengan melihat [karya-karya] seni, kita dapat mulai memahami bagaimana tiap-tiap cara representasi kita [mengenai berbagai hal] membutuhkan makna dan kekuatan”(4. Maka dinamika ekspresi karya-karya G Sidharta, sekali lagi, mengajarkan pada kita ihwal kekuatan dan keteguhan sikap menjadi seorang seniman yang sejatinya [turut] menentukan perubahan.

Bandung, Desember 2009

Rizki A. Zaelani
Kurator



CATATAN:

1. Dikutip Sanento Yuliman dan Jim Supangkat, G. Sidharta di tengah Seni Rupa Indonesia (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1982), hlm.1

2. Sanento Yulimsn, “Tradisi dan Kekinian”, Asikin Hasan, ed. DUA SENI RUPA: Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman (Jakarta: Yayasan Kalam, 2001), hlm. 134.

3. Raymond Williams, The Politics of Modernism (London: Verso, 1989), hlm. 43.

4. Mary Anne Staniszewski, BELIEVING IS SEEING: Creating the Culture of Art (New York: Penguin Book, 1995), hlm.1
 

Copyright © 2009 by Homage G Sidharta Soegijo dalam Seni Rupa Indonesia